Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya. Bentuk penghargaan terbaik untuk negara yang pernah terjajah adalah melaksanakan wasiat mereka yang membuka gerbang kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.
Wasiat paling nyata dari pendiri bangsa ini adalah simbol-simbol yang menunjukkan jati diri bangsa ini, yaitu Garuda Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika, Bendera Merah Putih, dan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya.
Dari tiga simbol itu, Lagu Kebangsaan Indonesia Raya adalah yang paling eksplisit menyatakan siapa kita dan apa yang akan kita lakukan setelah berhak menentukan nasib sendiri. Ironisnya, wasiat paling nyata ini adalah yang paling terabaikan.
Garuda Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika dan Bendera Merah Putih bisa ditemui dalam keadaan utuh, terawat, sempurna, di banyak tempat, tetapi tidak dengan Lagu Indonesia Raya. Lagu yang membuat Belanda dan Jepang gentar telah terkoyak menjadi sepertiga bagian.
Memang, mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1958, tak ada keharusan untuk menyanyikan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya utuh tiga bait. Namun, tetap harus dipertimbangkan salah ketika tiga bait Lagu Kebangsaan Indonesia Raya tidak dinyanyikan pada hari terbesar negeri ini, 17 Agustus di Istana Negara; Tetap harus dipandang salah ketika tiga bait Lagu Kebangsaan Indonesia Raya tidak wajib diajarkan di sekolah-sekolah; Tetap harus diyakini salah ketika ada anak negeri ini tidak tahu bahwa Lagu Kebangsaan Indonesia memiliki tiga bait.Mungkin, ketidaktahuan juga yang membuat Rio Febrian dan Edo Kondologit pernah berimprovisasi ketika menyanyikan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya. Rio berimprovisasi ketika menyanyikan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya pada kampanye Susilo Bambang Yudhoyono dan Budiono pada 4 Juli 2009, sementara Edo berimprovisasi pada peringatan Kebangkitan Nasional ke-100.
Padahal, menurut PP Nomor 44 Tahun 1958, Lagu Kebangsaan Indonesia Raya tidak boleh diperdengarkan dengan nada-nada, irama, iringan, kata-kata, dan gubahan-gubahan lain sesuai yang tertera dalam PP tersebut.
Sebagai catatan, Lagu Kebangsaan Indonesia Raya diciptakan Wage Rudolf Supratman dan diperdengarkan pertama kali pada Kongres Pemuda 28 Oktober 1928. Saat itu, WR Supratman memperdengarkan lagu ini dengan biola. Lagu Kebangsaan Indonesia Raya yang asli dirilis Koran Sin Po edisi November 1928 dan diaransemen ulang oleh orang Belanda Jos Cleber pada 1950, dengan pertimbangan Soekarno. Lagu Kebangsaan Indonesia Raya yang diaransemen Jos Cleber itulah yang dinyanyikan sampai sekarang.
Berikut ini adalah syair Lagu Kebangsaan Indonesia Raya tiga per tiga.
Bait I
Indonesia tanah airku,
Tanah tumpah darahku,
Di sanalah aku berdiri,
Jadi pandu ibuku.
Indonesia kebangsaanku,
Bangsa dan tanah airku,
Marilah kita berseru,
Indonesia bersatu.
Hiduplah tanahku,
Hiduplah neg’riku,
Bangsaku, Rakyatku, semuanya,
Bangunlah jiwanya,
Bangunlah badannya,
Untuk Indonesia Raya.
Bait II
Indonesia, tanah yang mulia,
Tanah kita yang kaya,
Di sanalah aku berdiri,
Untuk s’lama-lamanya.
Indonesia, tanah pusaka,
P’saka kita semuanya,
Marilah kita mendoa,
Indonesia bahagia.
Suburlah tanahnya,
Suburlah jiwanya,
Bangsanya, Rakyatnya, semuanya,
Sadarlah hatinya,
Sadarlah budinya,
Untuk Indonesia Raya.
Bait III
Indonesia, tanah yang suci,
Tanah kita yang sakti,
Di sanalah aku berdiri,
N’jaga ibu sejati.
Indonesia, tanah berseri,
Tanah yang aku sayangi,
Marilah kita berjanji,
Indonesia abadi.
S’lamatlah rakyatnya,
S’lamatlah putranya,
Pulaunya, lautnya, semuanya,
Majulah Neg’rinya,
Majulah pandunya,
Untuk Indonesia Raya.
Reffrein
Indonesia Raya,
Merdeka, merdeka,
Tanahku, neg’riku yang kucinta!
Indonesia Raya,
Merdeka, merdeka,
Hiduplah Indonesia Raya.
Melalui Lagu Kebangsaan Indonesia Raya, pendiri bangsa ini berpesan supaya warga negara bersatu dan itu artinya menghargai perbedaan. Namun, ada warga negara yang kesulitan beribadah, bahkan di kampung halamannya sendiri.
Pendiri negeri ini mengingatkan generasi penerusnya untuk menjaga tanah dan pulau, tetapi sudah berapa kekayaan laut yang dicuri pukat harimau tetangga? Berapa pulau yang hilang? Timor Timur bahkan sudah tak lagi dalam pelukan Ibu Pertiwi. Mereka yang seharusnya menjadi penjaga negeri ini malah membukakan pintu rumahnya sendiri untuk pencuri.
Indonesia juga tak lagi kaya. Negeri yang diperebutkan negara-negara asing karena kekayaam alamnya kini mengirim wanita-wanitanya meninggalkan anak, suami, dan orang tua, untuk bekerja di luar negeri. Parahnya, ketika wanita-wanita itu tak diperlakukan layaknya manusia, penyalur tenaga kerja menolak mengongkosi mereka pulang dengan alasan, “Kita rugi.”
Melihat ironi dan insiden tersebut, bangsa ini belum besar setelah 68 tahun merdeka. Namun, bangsa ini selalu punya peluang menjadi besar karena meski bukan pemenang perang, bangsa ini lahir dari benih dan rahim orang-orang yang tak jerih berjuang meraih kemerdekaan, apa pun taruhannya. Dan, itu bisa dimulai dengan merapal kembali mantra yang dulu menggetarkan Belanda dan Jepang secara utuh.
*dikutip dengan penyesuaian dari http://politik.kompasiana.com/2013/08/17/sepertiga-indonesia-raya-584374.html
Please comment here ....